Tuesday, July 3, 2012

Spanyol versus Italia: Simulakra dan Kaki-kaki Lempung



Bagi Jorge Luis Borges, La Loteria en Babilonia hanya sekadar cerita. Tetapi tidak bagi Jean Baudrillard. Dari cerita Borges itulah ia mendapat inspirasi untuk menelaah gejala--sekaligus memberi kesimpulan tentang hidup pasca-modern.

La Loteria en Babilonia atau Lotere di Babilonia bercerita tentang bagaimana masyarakat Babilonia tidak hanya menggemari lotere, tetapi juga menaruh kepercayaan besar terhadap permainan tersebut. Borges, sastrawan buta dari Argentina tersebut, dengan cemerlang menggambarkan sebuah "konsepsi simulasi", yang bagi Baudrillard adalah sebuah deskripsi purna tentang apa yang kelak disebutnya sebagai "simulakra".

Kegemaran bermain lotere dalam masyarakat Babilonia yang ditulis Borges, perlahan bergeser fungsinya dari sekadar permainan menjadi sebuah mitos. Manusia secara perlahan mulai mempercayai lotere sebagai alat untuk menentukan hidup, di mana kemudian apa yang terjadi pada hidup melulu tergantung dengan hasil undian sebuah lotere yang mereka mainkan--di mana manusia kemudian menggantungkan hidupnya kepada benda tersebut.

Dari gambaran itulah, Baudrillard menerbitkan kesimpulan: Lotere menjadi membuat manusia jadi lupa perbedaan antara hidup yang nyata dan fantasi. Semua perbedaan menjadi sangat tipis. Dan itulah simulakra yang disebut Baudrillard: ketika lotere telah mendahului esensi hidup itu sendiri, manusia terjebak dalam realitas yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa.

Semua itu seperti Tiki-Taka Spanyol.

Sejak Luis Aragones memilih untuk meminggirkan nama besar Raul Gonzalez dan lebih memprioritaskan pemain-pemain "cebol" untuk ukuran manusia Eropa, ia seolah telah mengerti bahwa Spanyol tengah menuju dimensinya sendiri yang bergelimang kejayaan dan trofi.

Aragones, sebagaimana sikap Foucault yang mendistorsi doktrin pertentangan kelas ala Marxisme, telah menyadari bahwa dengan tiadanya Raul di skuad La Furia Roja, maka Kekuasaan (dengan "K" besar) tak lagi dimiliki oleh satu entitas (dalam hal ini Raul, pangeran Real Madrid yang disayang raja-raja Castillan itu), melainkan hasil dari relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana.

Maka ia menerbitkan sebuah cetak biru permainan untuk pemain-pemain "cebol" macam Xavi Hernandez, Andres Iniesta, David Villa, hingga David Silva: bermain dengan umpan pendek tik-tak. Tak ada jenderal pengatur serangan, yang ada hanya perputaran arus bola, eksploitasi ruang-ruang kosong yang dihadirkan lawan yang hanya mampu bertahan, lalu kembali mengalirkan bola dengan cepat, memutari lapangan, dan... gol.

Itulah Tiki Taka, sebuah simulakra dalam sepakbola modern, di mana pemain lawan dijebak kedalam imaji ruang realitas yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya tak pernah ada. Ketika Spanyol tengah mengalirkan bola dari kaki ke kaki, semua pemain sibuk bertukar posisi sabagai bagian dari usaha untuk terus membuka ruang pertahanan lawan.

Oleh karena itu, meski Spanyol selalu mendominasi penguasaan bola hingga bermenit-menit, mereka hanya perlu beberapa detik untuk menuntaskan semua. Dan itulah saat ketika pemain lawan telah terpedaya oleh simulakra Spanyol: ketika mereka berpikir tak akan mampu merebut bola dari Spanyol dan mengira bahwa mereka hanya mampu bertahan. Hal yang memang diinginkan Spanyol.

Serupa dengan apa yang diamini Baudrillard tentang simulakra dalam bukunya "Simulations", Tiki-Taka adalah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising) yang sukses memproduksi segala sesuatu yang palsu (false) guna menciptakan kekacauan dan intermediasi dalam benak lawan.

Maka tak usah heran jika Spanyol intim dengan "False 9". Mereka memerlukan "pemain bernomor sembilan palsu", guna di plot sebagai kamuflase dalam pusat permainan mereka, yang tidak hanya menunggu umpan seperti Inzaghi menunggu bola muntahan, tetapi pemain "false 9" wajib terus bergerak, memecah belah pertahanan lawan lewat pergerakannya yang tak terduga.

Kita jelas perlu menunjuk satu nama dalam "false 9" ini. Ia adalah pemain "cebol" lain, Cesc Fabregas. Vicente Del Bosque jelas perlu Fabregas sebagai "false 9" untuk menciptakan realitas dengan citra-citra buatan, yang dengan sadar menjadikan dirinya sebagai fantasi untuk lawan, atau malah halusinasi yang menjadi kenyataan. Dan Fabregas beberapa kali berhasil melakukannya. Beberapa kali bek lawan ketakutan dan percaya bahwa ia adalah Eusebio yang mampu mencetak gol dengan cara apapun.

Spanyol, lewat Tiki Taka, adalah perpanjangan tangan simulakra di dunia sepakbola. Fabregas, dalam posisinya sebagai "false 9", adalah Derrida yang tengah memukul keras-keras martil dekonstruksi kepada wajah modernisme: di mana setiap paradigma modernitas dipertanyakan dan ditelanjangi--dalam hal ini peran usang striker yang hanya mampu menunggu umpan--untuk kemudian dijungkirbalikkan fungsi awalnya.

Di final Piala Eropa 2012 nanti, Spanyol bertemu lawan yang tepat: Italia. Sebuah negeri di mana sepakbola dirayakan dengan semangat modernitas yang kental, dengan sikap cuek terhadap patologi yang dihadirkan modernitas itu sendiri. Dalam hal ini, hegemoni atau status quo.

Lihatlah bagaimana Seri A mengharamkan pemain muda bersinar. Lihat pula bagaimana mereka justru lebih sering meraih gelar juara justru ketika sepakbola mereka ditelanjangi hukum dan borok mereka tercium dunia luar. Lihat pula bagaimana pada 2006 mereka jadi kampiun Piala Dunia dengan bermaterikan pemain-pemain uzur yang hendak terbenam macam Totti, Del Piero, Cannavaro... Serta seorang pemain yang waktu itu tengah berada dalam usia emas; Pirlo.

Italia memang tak peduli semangat-semangat mikro yang hadir dalam dunia pasca-modern. Mereka menolak asumsi rasio-kritis ala Kantian dan lebih bersemangat membicarakan sepakbola melalui kaki-kaki lempung yang telah didakwa akan segera menuju kepunahan. Dan untuk ini, kita perlu, sangat perlu, membicarakan sebuah masterpiece lain dalam sepakbola yang hanya hadir satu millennium sekali: Andrea Pirlo.

Sekali lagi: Andrea Pirlo, pemain yang tengah dianggap hendak menuju masa pensiun, tetapi justru membalikkan semua asumsi dengan permainan memukau. Pirlo adalah sesungguh-sungguhnya metronom. Geraknya anggun, umpan-umpannya indah. Kita seperti sedang melihat Leondardo da Vinci tengah melukisLa Gioconda di sebuah taman pada musim hangat yang sejuk di Firenze.

Bagi saya, Italia versus Spanyol adalah final ideal. Mari lupakan Jerman yang telah mengkhianati karakter Libero dalam sepakbola mereka. Lupakan pula betapa Inggris ternyata masih saja sibuk dengan WAGs dan media-media mereka yang megalomaniak.

Lalu Cristiano Ronaldo? Biarkan dia kembali ke salon dan menata ulang rambut tahun 50-nya itu. Sedangkan Belanda? Mereka sepertinya perlu menyuntikkan gen Johan Cruyff agar dapat kembali melakukan perzinahan intelektual di lapangan hijau. Dan, ah Prancis... sepertinya mereka perlu pergi ke Oprah Winfrey untuk berkonsultasi dan menangis bersama agar kembali rukun.

Mari sambut, meski Anda bukan partisipan kedua kubu, final berkelas ini:

Spanyol versus Italia.

Epilog Polandia-Ukraina



Piala Eropa 2012 sudah habis. Piala Eropa kini sampai pada tahap epilog. Hanya tinggal ringkasan-ringkasan dan, mungkin, pelajaran yang tersisa.

Saya sendiri selalu percaya bahwa sepakbola punya pelajaran dan ceritanya sendiri. Entah dari lapangan atau kejadian-kejadian di seputarnya. Anda bisa melihat bagaimana formasi 4-2-3-1 berevolusi di hijaunya lapangan, tapi di lain kesempatan menjadi bagian dari revolusi di luar lapangan. Februari silam, 74 orang meninggal dan 1.000 orang luka-luka dalam laga antara Al Ahly melawan Al Masry di Mesir. Bentrok antarsuporter biasa? Bukan. Ada permusuhan politik terselubung di antara kedua tim. Pendukung Al Ahly kebanyakan mendukung pencopotan Hosni Mubarak, sementara Al Masry sebaliknya.

Tapi tunggu. Ah, mungkin terlalu jauh mengambil contoh sampai ke Mesir. Mari mundur sedikit lagi ke November 2011, ke Gelora Bung Karno, ke waktu di mana Indonesia tengah berusaha meraih medali yang sudah lama diidam-idamkan. Waktu di mana mereka harus menghadapi negara tetangga yang belakangan jadi rival berat; Malaysia. Anda mungkin masih ingat hasil akhirnya: Indonesia kalah adu penalti dan harus menunggu lebih lama lagi akan gelar yang diidam-idamkan itu.

Layaknya Piala AFF setahun sebelumnya, cabang sepakbola SEA Games mengundang animo besar masyarakat. Orang-orang yang tadinya tak bisa menyaksikan sepakbola langsung ke stadion mendadak jadi latah. Alhasil, penonton membludak. Penonton berdesak-desakan di pintu masuk stadion. Dan, sayangnya, sampai menimbulkan korban jiwa. Ini adalah cerita pilu, yang sampai saat ini entah sudah dipetik pelajarannya atau belum oleh federasi sepakbola kita itu. Belum lagi soal cerita penonton yang bisa masuk menonton tanpa tiket.

Bagi saya, laga final tersebut akan selalu diingat sebagai cerita di mana saya menonton sebuah laga dari dekat... dalam arti sesungguhnya. Sebagai imbas buruknya manajemen penonton, tribun media yang (harusnya) hanya dikhususkan untuk awak media menjadi penuh dengan penonton. Banyak penonton yang memegang tiket VIP mengaku tak mendapatkan tempat duduk di tribun VIP. Bagaimana bisa? Entahlah.

Saya tidak tahu apakah Indonesia sudah bisa mengambil pelajaran dari kekacauan-kekacauan semacam itu. Belum ada lagi turnamen yang dihelat di negara ini dan belum ada lagi antusiasme sebesar itu mampir. Dan imbasnya, belum juga bisa dibuktikan bagaimana federasi sepakbola kita itu akan menangani kejadian dan kondisi serupa.

Dari lapangan sendiri, ada pelajaran yang ketika itu diutarakan Rahmad Darmawan dalam kritik yang membangun. Ia mengeluhkan para pemain-pemain mudanya masih kerap terburu-buru melepas bola ke depan, dari satu bola panjang ke bola panjang lainnya, sehingga mudah kehilangan penguasaan bola. Tak ada operan-operan pendek yang diintruksikannya. Dari sini, timnas U-23 belajar bahwa seharusnya begitulah cara efektif memainkan sepakbola. Sayang, RD tak melanjutkan jabatannya setelah turnamen itu.

***

Maka, sampailah kita di Piala Eropa. Dimulai di Warsawa dan berakhir di Kiev. Di antara kedua kota itu berceceran cerita-cerita, mulai dari bentrok antara suporter Polandia dan Rusia--yang disebut kental akan latar belakang keras dari kedua negara--sampai cerita di Gdansk, di mana para suporter Republik Irlandia dengan lantang menyanyikan The Fields of Athenry. Suporter Irlandia seperti mengajarkan bahwa demikianlah cara kalian mendukung tim kesayangan kalian; kalah tak mengapa, yang penting kalian bisa mendukung sesuka hati dan merayakannya secara komunal, secara kebersamaan.

Piala Eropa 2012 juga mengajarkan bahwa Polandia akhirnya bisa menjadi negara eks-komunis pertama yang bisa menggelar turnamen besar sepakbola. Polandia juga menunjukkan bahwa mereka kini punya talenta-talenta bagus pada diri Robert Lewandowski--si pencetak gol pertama turnamen--, Jakub Blaszczkykowski, dan Lukasz Piszczek, yang kebetulan ketiganya adalah bagian penting dari kesuksesan Borussia Dortmund dalam dua musim terakhir. Polandia tak lagi hanya dikenal berkat Wojciech Szczesny atau Tomasz Kuszczak, yang kini bahkan sudah tidak masuk tim nasional lagi.

Yang paling fenomenal dari turnamen ini mungkin adalah Spanyol. Gaya tanpa penyerang dan taktik "false 9"yang sebenarnya tidak baru-baru amat dieksploitasi dengan baik. Gaya yang juga pernah dipraktikkan oleh Pep Guardiola di Barcelona itu diejawantahkan dengan baik oleh Vicente Del Bosque melalui sosok Cesc Fabregas. La Furia Roja pun sukses, kendati ada suara-suara sumbang yang menyebut mereka membosankan. Entah membosankan atau tidak ketika akhirnya mereka sukses menggulung Italia empat gol tanpa balas di final.

Dari sisi yang membela, Spanyol disebut memainkan patient football. Mereka memainkan sepakbola dengan sabar. Mereka memutar-mutar bola sembari menunggu ada ruang terbuka di pertahanan lawan atau menunggu mereka lelah. Ketika ruang itu muncul, maka mereka akan menghantamnya. Italia sempat berhasil meredam gaya ini ketika bermain dengan formasi 3-5-2 di fase grup. Sayang, Italia tidak setia kepada gaya itu dan akhirnya mengalami keruntuhan di partai puncak.

Bagi Spanyol, kemenangan dengan setia kepada gaya mereka sepanjang turnamen adalah sebuah kebanggaan. Del Bosque juga mengajarkan bahwa sepakbola bisa bercanda dengan nalar. Bagaimana tidak, ia nyaris memainkan taktik tanpa penyerang di setiap laga di turnamen ini. Namun, justru penyerang dari timnya lah yang berakhir sebagai top skorer.

"Sepakbola tidak hanya punya satu gaya. Yang terpenting adalah mencetak gol. Para pemain kami punya intelejensia tinggi dan kami punya skuat yang seimbang. Kami memang memiliki striker, tapi kami memilih untuk memainkan pemain yang sesuai dengan gaya kami," demikian ucapnya.

Italia sendiri layak mendapatkan respek. Tidak sedikit yang lebih menjagokan Spanyol bertemu Jerman di final. Tetapi, tim besutan Cesare Prandelli itu berhasil memutar-balikkan banyak prediksi. Mereka membuatDie Mannschaft tak berkutik di semifinal. Kreativitas yang dimiliki anak-anak Jerman kalah dibandingkan yang dimiliki Andrea Pirlo dkk. Gli Azzurri mengajarkan bahwa sepakbola bukanlah sebuah permainan yang kaku. Taktik dan strategi bisa berubah menyesuaikan tim yang akan dihadapi. Strategi mengubah formasi dan taktik demikian jamak dan bisa berhasil jika dipraktikkan dalam sebuah turnamen.

Apa pun, Italia pada akhirnya tak bisa berbuat banyak. Pirlo yang sepanjang turnamen tampil ajaib bak mati semalam. Pirlo terisolasi, tak ada Daniele De Rossi dan Claudio Marchisio di dekatnya, sementara Spanyol sukses memainkan gaya mereka sendiri di hadapan para gelandang Italia. Ujung-ujungnya, keempat pun gol lahir dari cara yang sama persis: umpan terobosan dari tengah. Prandelli sempat berusaha memainkan Thiago Motta--yang tampil bagus pada pertemuan di fase grup--tetapi sang gelandang akhirnya malah cedera dan menjadi bumerang untuk Italia. Dengan keadaan 11 vs 10, pertandingan pun disebut-sebut sudah habis.

Dan begitulah Piala Eropa selesai. Anda masih bisa melihat dan mengulang-ulang lagi pelajaran dan cerita yang bersebaran di dalamnya. Karena memang demikianlah sepakbola; dilihat, dipelajari, dinikmati, dan diresapi. Begitulah cara menikmatinya.

Bahwasanya Spanyol Adalah Sebuah Revolusi



Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, lalu Piala Eropa 2012. Tak ada tim manapun di dunia yang pernah mencetak hat-trick seperti ini kecuali Spanyol. Bahwasanya Spanyol adalah sebuah revolusi dalam sepakbola.

Setidaknya, dua kali Spanyol membuat maestro lapangan tengah Italia, Andrea Pirlo, menangis.

Pada 22 Juni 2008, lewat drama adu penalti, Spanyol mengalahkan Italia di perempat final Piala Eropa 2008. Cesc Fabregas yang menjadi eksekutor terakhir berhasil mengecoh Gianluigi Buffon dan memastikan satu tempat di babak semifinal bagi Spanyol. Sementara Pirlo hanya bisa menyaksikan kepahitan peristiwa itu di pinggir lapangan karena tak bisa bermain akibat akumulasi kartu kuning. Dengan berurai air mata ia lalu menghibur teman-temannya yang hanya bisa tertunduk lesu.

Bagi Spanyol kemenangan tersebut seakan melepaskan mereka dari "kutukan perempat-final". Selama 44 tahun, semenjak 1964, hanya sekali Spanyol pernah melenggang keluar dari babak perempat final, yaitu pada Piala Eropa 1984 (kemudian kalah di final oleh Prancis). Selama 44 tahun lamanya mereka harus menanggung label sebagai "tim yang cantik" namun tak tahu caranya menang.

Pada 22 Juni 2008, lewat tendangan penalti Fabregas, semua itu berubah. Italia, sang raksasa sepakbola, tim yang bisa melakukan segalanya untuk menang, dan pemegang gelar juara dunia 2006 kala itu, berhasil ditundukkan. Spanyol melaju hingga ke final dan meraih gelar keduanya di panggung internasional.

Empat tahun kemudian, pada 1 Juli 2012, kembali Fabregas menjadi salah satu aktor utama. Ditempatkan sebagai ujung tombak formasi tanpa striker, assist-nya pada David Silva di menit ke-14 membuka kran gol Spanyol ke gawang Buffon.

Pirlo pun kembali menangis. Ia yang digadang-gadang sebagai pemain terbaik Piala Eropa harus menyaksikan bagaimana Xavi, Andres Iniesta, Fabregas, dan Silva mempermainkan lini pertahanan Italia tanpa sekali pun Italia bisa memberikan perlawanan.

Empat gol yang berhasil dilesakkan ke gawang Buffon tersebut jadi sekian penegasan Spanyol pada dunia, bahwa Italia bisa dikalahkan lewat waktu normal; bahwa permainan tiki-taka mereka bukan sepakbola yang membosankan; bahwa formasi tanpa striker mereka bisa membuahkan gol; bahwa keputusan mereka tetap setia pada satu filosofi sepakbola, yang telah diusung selama puluhan tahun, bisa membuat mereka jadi salah satu, atau bahkan, tim terbaik sepanjang masa. Bahwa.... Bahwa... dan bahwa...

Possession, Possession, Possession

"Ide sepakbola kami adalah sesuatu yang tak bisa ditawar," ujar Vicente Del Bosque sebelum Piala Eropa dimulai. Walau ia sadar akan adanya kelemahan-kelemahan dengan gaya bermainnya, ia menegaskan bahwa sepakbola yang berbasis pada penguasaan bola akan tetap menjadi pilihan Spanyol.

Ya, Spanyol bukan Italia yang sedang mengubah citra sepakbola defensifnya. Mereka bukan pula Inggris yang selalu mencari identitas dan konsep baru setiap kali tersingkir dari turnamen.

"Percayalah pada kami," Iniesta pun ikut angkat bicara saat keragu-raguan timbul di benak para suporter Spanyol, ketika Kroasia tak berhasil dikalahkan dengan meyakinkan.

Menurut Sid Lowe, jurnalis sepakbola Spanyol di koran Guardian, tiki-taka sendiri bukan seluruhnya mengenai kreativitas, tetapi kontrol. Kekuatan Spanyol tidak terletak pada bagaimana pemain-pemainnya didistribusikan di lapangan, atau pemilihan formasi, tapi pada paradigma bahwa ball possession adalah segalanya, baik saat menyerang maupun bertahan.

Salah satu nabi sepakbola menyerang, Zdenek Zeman, pernah mengkritik filosofi ini. Menurutnya passingatau umpan itu harus memiliki makna. Harus dilakukan dengan tujuan untuk melukai lawan. Passing ke samping kiri atau kanan, hanya demi penguasaan bola, dalam benak Zeman jadi hal yang sia-sia untuk dilakukan.

Tapi justru bagi Spanyol kendali akan bola ini memiliki banyak arti. Saat mengendalikan bola pemain-pemain Spanyol beristirahat dan mendapatkan kembali energi. Pengendalian bola juga merupakan bentuk pertahanan terbaik mereka, karena lawan-lawannya tak mungkin mencetak tanpa merebut bola terlebih dahulu.

Selain itu, tim yang jadi lawan Spanyol pun semakin lama energinya akan terkuras habis. Selain karena frustasi mengejar bola, energi ini habis karena bermain dengan pola bertahan lebih melelahkan secara mental. Mungkin tim yang memainkan formasi bertahan tidak terlampau banyak melakukan aktivitas fisik. Namun secara psikologis mereka terus menerus berada di dalam tekanan lawan. Dibutuhkan konsentrasi pada level sempurna untuk dapat mengimbangi Spanyol dengan menggunakan sepakbola bertahan.

Maka tak heran jika pada saat Spanyol bangkit pada 2008, mereka tak melakukannya secara setengah-tengah. Jerman, Belanda, Brasil, atau bahkan Inggris pernah melahirkan generasi emas yang berhasil merebut gelar. Tapi Spanyol menyuguhkan dominasi total. Prestasi merebut 3 gelar juara secara berturut-turut belum pernah dilakukan negara manapun sebelumnya, dan mungkin tidak akan pernah terulang kembali.

Spanyol, Barcelona, dan Johan Cruyff

Bukan kebetulan jika dominasi Spanyol di level internasional ini berbarengan munculnya dengan dominasi Barcelona pada level klub. Aktor-aktor di belakang mesin sepakbola klub catalan tersebut juga jadi aktor sama yang menggerakkan timnas Spanyol: Xavi, Iniesta, Fabregas, Sergio Busquet, dan Gerard Pique.

Apa yang dilakukan oleh Spanyol dan Barcelona ini tergolong unik karena belum pernah dilakukan negara lainnya. Ketika Ajax mendapatkan 3 gelar Liga Eropa pada 1971 hingga 1973, Belanda tak serta merta menjadi juara dunia. Pun saat Liverpool menguasai kompetisi Eropa pada awal dekade 1980-an prestasi Inggris masih biasa-biasa saja. Bahkan, saat Inter Milan jadi klub Italia pertama yang mendapatkan tiga gelar utama dalam satu musim (treble), timnas Italia malah gagal lolos dari fase grup piala dunia. Begitu juga saat AC Milan menjadi The Dream Team pada akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an, Italia tak mendapatkan gelar apa pun.

Mungkin jawabannya terletak pada, dan lagi-lagi karena, kesetiaan pada satu identitas yang sama. Generasi emas pesepakbola Spanyol dan Barcelona bukan ada karena kebetulan namun dilahirkan oleh suatu sistem yang telah berjalan selama lebih dari 20 tahun.

Untuk memainkan gaya sepakbola ala Spanyol dibutuhkan suatu keharmonisasian dan pengertian yang kuat antar pemain. Mereka-mereka yang mengenakan lambang Catalan di dadanya sejak belia telah ditanamkan pikiran bahwa melakukan passing ke temannya, bahkan dalam kondisi tertekan, adalah suatu kewajiban. Bahwa melakukan umpan panjang, dan mereduksi sepakbola menjadi permainan anarkis yang bergantung pada kesempatan, adalah dosa besar.

Di balik penguasaan bola tim Spanyol dan Barcelona ada keterbiasaan yang lahir karena latihan bersama selama ratusan kali semenjak kecil. Ada pengertian yang timbul dari pemahaman ke mana arah teman bergerak di lapangan. Ada keteguhan untuk tetap coba melakukan hal yang sama, walaupun hasilnya tak instan langsung terlihat.

Untuk itu, publik Spanyol patut berterimakasih pada Johan Cruyff, sang patron Barcelona. Adalah Cruyff yang menancapkan filosofi tersebut ketika ia mengambil alih tim Barcelona pada 1988. Pelatih Belanda ini kemudian dengan ide-ide liarnya merevolusi La Massia, akademi sepakbola yang melahirkan tiga pemain terbaik dunia saat ini Xavi, Iniesta, dan Lionel Messi.

Cruyff juga lah yang memilih seorang Pep Guardiola jadi kapten. Nama yang disebut belakangan ini kemudian jadi otak utama bangkitnya sepakbola yang diusung oleh anak-anak yang lahir dari filosofi sepakbola Cruyff.

"Suatu hari saya akan mengubah dunia sepakbola," celoteh Cruyff pada temannya di suatu hari pada tahun 1988. Bagaimana? "Bek-bek saya akan menjadi pemain tengah; saya akan memainkan dua pemain sayap dan tak menggunakan seorang striker," ujarnya lagi.

Dua empat puluh tahun kemudian, melalui idenya yang ditularkan lewat pemain Barcelona dan Spanyol, Cruyff membuktikan ucapannya. 

Monday, July 2, 2012

'Yo Soy Espanol! Yo Soy Espanol!'



Tanyakan pada Pele, si Mutiara Hitam itu, bagaimana caranya membuat rakyat yang sedang kelaparan bisa tersenyum sejenak.

Brasil didera oleh bencana kemiskinan terbesar dalam sejarahnya pada kurun waktu 1950-1970. Namun pada periode itu juga, tim Samba—julukan timnas Brasil—berhasil memboyong Piala Dunia hingga tiga kali (1958, 1962, 1970) – dan sekali meraih Runner-up (1950). Alhasil, di tengah kepahitan ekonomi yang mencekik dan perut keroncongan, rakyat Brasil masih bisa bersorak-sorai dan menari Samba di jalan-jalan meski tahu trofi takkan menyelesaikan masalah finansial negara atau mengenyangkan perut mereka.

Tidak terpungkiri, sepakbola memiliki daya magis bagi banyak orang yang mencintainya. Apalagi bagi orang Brasil yang 74% penganut Katolik Roma, sepakbola sudah ibarat—meminjam perspektif sosiolog agama, Robert N. Bellah—Civil Religion; sebuah kepercayaan, kumpulan nilai, dan praktek yang punya teologi dan ritual tersendiri. Ia memberi penghiburan sekaligus harapan sebagaimana agama konvensional, dengan nabi-nabi dan juru selamat seperti Pele, Romario, Ronaldo. Begitu pula halnya negara-negara Eropa yang memiliki tradisi dan kultur sepakbola kuat seperti Inggris, Jerman, Belanda, atau Spanyol.

Dan Xavi Hernandes, playmaker La Furia Roja—sebutan timnas Spanyol—itu tentunya sadar betul hal ini. 'Agar rakyatnya bisa sedikit tersenyum', begitulah keinginan sekaligus keyakinan sang bintang Barca, maka sebuah gelar juara, sebuah trofi supremasi sepakbola tertinggi di benua putih niscaya haruslah diraih.

"Kami sedang berada di tengah krisis, dan untuk satu hal, sepakbola bisa menjadi sesuatu yang bagus. Bila tim nasional bermain baik, pastilah akan berpengaruh terhadap karakter masyarakat kami," tandasnya.

Xavi tak berlebihan, dalam banyak kasus terbukti sepakbola ternyata mampu menawar kesedihan, kesengsaraan, kemiskinan, serta ketidakadilan dalam masyarakat. Atau, sebaliknya membuat penduduk suatu negeri bermuram durja.

Untuk bangsa Yunani di tahun 2004, sepakbola adalah sumber pembebasan yang memberikan kekuatan dan kegembiraan tatkala timnas mereka yang tak diperhitungkan berhasil meraih Piala Eropa justru di tengah sendi perekonomian mereka yang luluhlantak. Sementara ketika Jerman ditaklukkan 0-2 oleh Brasil di final Piala Dunia 2002, media sempat menggambarkan suasana di Berlin dan kota-kota besar Jerman lainnya konon mencekam seperti kota hantu: jalan-jalan sepi, toko-toko tutup, dan hampir seluruh penduduk Jerman tampak berwajah murung, bahkan banyak yang menangis seakan tak percaya Der Panzer bakal kalah.

"Kemenangan atas Inggris seakan-akan menyelesaikan segala krisis yang melanda di Argentina kala itu," demikian Jorge Valdano, mantan pemain Argentina mengenang kemenangan mereka di semifinal Piala Dunia 1986.

Sepakbola tak hanya membawa berkah bagi ekonomi tetapi juga sosial dan politik. Tim Matador sendiri tohpernah merasakan berkah sosial-politik ini dua kali secara beruntun, yakni ketika menjadi juara Euro 2008 dan Piala Dunia 2010.

"Yo Soy Espanol! Yo Soy Espanol!" ("Saya orang Spanyol! Saya orang Spanyol!") begitulah teriakan para pemuda Catalan yang biasanya apatis terhadap tim nasional tiba-tiba membahana di jalan-jalan Catalunya ketika Iker Casillas dkk sukses menundukkan Belanda di Stadion Soccer City, Afrika Selatan, lewat gol tunggal Andres Iniesta. Dan untuk pertama kalinya di daerah Catalan pun berkibar bendera Spanyol.

Ya, akibat dominasi pemain Barcelona dalam skuad asuhan Vicente del Bosque, kemenangan yang dipetik La Furia Roja dengan gemilang itu pun serta merta melenyapkan primodialisme di negeri matador untuk sementara waktu. Padahal selama ini beragamnya etnis (Castilla, Catalan, Sevillano, Basque, dan lain-lain) membuat mereka nyaris sulit meleburkan identitas di bawah bendera Espana. Bukankah dalam berbagai laga international Barcelona kerap ditemukan poster-poster berbunyi 'Catalan is not Spain'?

"Jika kita memahami sepakbola dalam segala aspeknya, maka kita juga memahami hidup sendiri," kata sosiolog Dirk Schuemer.

Karena itu, juga pada Piala Dunia 2010, di hadapan para pemain Les Bleus—julukan timnas Prancis—pasca kasus Nicolas Anelka, Menteri Olahraga Prancis, Roselyne Bachelot menyatakan: "Tanggungjawab yang lebih besar ada pada kalian semua begitu kalian mengenakan kostum nasional Prancis. Tanggungjawab itu yakni melakukan hal terbaik dalam sepakbola, menjadi contoh karena Anda ditonton. Banyak anak-anak remaja yang bermain sepakbola dan menjadikan kalian semua sebagai contoh, sebagai idola."

Kata-kata Bachelot ini selain melukiskan krisis multidimensi yang sedang melanda Eropa pada tahun-tahun terakhir, tentunya juga mengandung makna dan pengharapan serupa dengan apa yang diungkapkan Xavi, yaitu bahwa di tengah ancaman pengangguran dan PHK, kenaikan harga, bangkrutnya perbankan, dan lain-lain yang membuat sebagian masyarakat Eropa mesti hidup di bawah tekanan sosial-ekonomi itu; sebuah kemenangan dalam sepakbola atau penampilan yang cemerlang sesungguhnya memang mumpuni sebagai pelepas depresi.

Akan ada banyak orang yang menjalani hari-harinya dengan wajah lebih ceria dan terpompa semangatnya dalam bekerja tatkala tim kesayangannya tampil bagus atau memenangkan duel. Atau paling tidak, mereka bisa menyalurkan rasa frustasi dengan berteriak-teriak di depan televisi saat tim kesayangan itu berlaga. Dengan demikian, berbagai problem hidup yang kian mencekik pun seolah terlupakan untuk sesaat.

Ah, di sinilah kiranya, berlaku pameo tua 'sirkus dan secuil roti' yang menjadi trik politik para penguasa dari jaman ke jaman. Baik ketika terjadi bencana, saat sebuah kekuasaan terancam, maupun untuk menutup-nutupi kebusukan sang penguasa. Ya, agar kekuasaan tidak chaos dan rakyat tidak berontak, seyogianya mereka haruslah 'terhibur' dan 'kenyang'. Sehingga seorang politikus kawakan seperti Bachelot pasti paham bahwa turnamen sekaliber Piala Dunia mestinya mampu mengalihkan perhatian rakyatnya dari himpitan finansial pelik yang mengglobal.

Sepakbola adalah sirkus moderen yang membawa kebahagiaan bagi jutaan orang di seluruh muka bumi. Di luar hitungan ekonomi dan hukum pasar, di dalamnya selalu terkandung etos dan kebanggaan yang mewakili makna asali dari game: kita bermain dan menemukan kegembiraan dalam permainan itu.

Tentu Bachelot tak ingin mengalami nasib seperti Presiden Argentina, Irigoyen, yang harus rela dikudeta usai pasukan Tango—julukan timnas Argentina—kalah melawan tuan rumah Uruguay di final Piala Dunia 1930 (kendati hal ini sulit terjadi di Prancis). Sementara, para punggawa La Furia Roja semacam Xavi Hernandes adalah para penghibur dengan beban nasionalisme dan patriotisme di atas bahu.

Hm, apa boleh buat, pada Piala Dunia 2010 Prancis harus pulang lebih dini dari Afrika Selatan. Dan kini, 23 Juni lalu di Stadion Donbass Arena, Donetsk, Ukraina, mereka pun diusir dari babak perempat final Euro 2012 oleh Xavi dkk dengan skor 0-2.

"Kami mencapai target pertama kami dengan lolos dari fase grup, kemudian kami harus menghadapi Spanyol, tim terbaik di dunia. Kami harus mencoba hal yang tak mungkin," aku kapten "Ayam Jago", Hugo Lloris, terus-terang di situs resmi UEFA.

Sepakbola memang begitu luar biasa, sampai-sampai kita dapat berguru pada pertandingan bagaimana cara mengolah hidup. Bahkan seorang Johan Cruyff tak urung berkata bahwa mereka yang tidak mengerti sepakbola adalah mereka yang tanpa hati nurani.

Bagi orang Cile di tahun 1962 contohnya, olahraga ini bukan saja telah memulihkan perekonomian mereka yang hancur lebur akibat gempa sebesar 9,5 skala richter pada tahun 1960, tetapi juga menjadi obat mujarab bagi luka mereka yang ditimbulkan oleh bencana alam dashyat tersebut.

"Kami harus mendapatkan Piala Dunia karena kami tidak punya apa-apa lagi," kata Carlos Dittborn, Presiden sepakbola Cile yang kala itu menolak keras rencana FIFA memindahkan perhelatan Piala Dunia 1962 dari negerinya pasca gempa. Dan hasilnya memang tak sia-sia. Rakyat Cile bisa kembali tersenyum saat negara Amerika Latin itu berhasil menempati posisi ketiga dengan mengalahkan juara Piala Eropa 1960 Uni Soviet di perempat final.

Ah, di Polandia-Ukraina, tekad Xavi dkk untuk memberikan yang terbaik pada rakyatnya tentulah bukan sesumbar. Tapi mesti dibuktikan dengan kerja yang tak mudah. Apalagi mengingat saat ini Spanyol memang termasuk dalam lima negara Uni Eropa dengan krisis ekonomi terberat yang kerap disingkat PIIGS(Portugal, Irlandia, Italia, Greece (Yunani), Spanyol).

Bermula dari Yunani lima tahun silam, krisis finansial ini—yang disebut-sebut sebagai krisis terparah sepanjang sejarah negeri Ratu Isabella itu akibat resesi Eropa—bahkan telah berdampak pada kesehatan keuangan klub-klub besar di La Liga seperti Real Madrid dan Barcelona. Jauh sebelum majalah bisnis Amerika Serikat, majalah Forbes menempatkan keduanya pada ranking satu dan dua dalam daftar 20 klub terkaya dunia, data dari Kementerian Olahraga Spanyol misalnya, menyebutkan utang Real Madrid mencapai 589 juta euro dan Barca sebesar 578 juta euro meski jumlah utang itu hanya 13% (Madrid) dan 58% (Barca) dari nilai seluruh aset mereka. Sedangkan Atletico Madrid dan Valencia masing-masing 514 juta euro dan 382 juta euro, belum lagi klub-klub lebih kecil seperti Real Mallorca, Real Zaragoza, Real Betis, Rayo Vallecano, dan Granada.

Jadi kendati tak mampu membantu PM Spanyol Mariano Rajoy mengatasi krisis, toh "Kami harus membawa ini sampai ke final. Kami tak boleh berpuas diri karena setiap laga adalah final," tukas Sergio Ramos sebagaimana dilansir sejumlah media usai menundukkan A Seleccao das Quinas 4-2 melalui drama adu pinalti, 27 Juni 2012 malam di Donbass Arena, Donetsk, Ukraina.


Balotelli 'Si Tukang Pos'



 Pada mulanya adalah olok-olok, lalu puja-puji. Di Piala Eropa 2012, Mario Balotelli adalah cerita tersendiri. Ia sukses membungkam siapa saja yang menganggap dirinya tak lebih dari selebriti kampungan dengan mencetak tiga gol dalam turnamen empat tahunan tersebut.

Nama asilnya adalah Mario Barwuah. Tak ada darah Italia ditubuhnya. Orangtuanya, Thomas dan Rose Barwuah, asli dari Ghana. Bersama kedua orangtuanya itulah Balo pergi ke Italia dengan status imigran, tak lama setelah ia lahir, 12 Agustus 1990.

Hidup di negeri orang dengan keadaan ekonomi pas-pasan membuat orangtua Balo tak tahu hendak berbuat apa ketika ia sakit. Hingga kemudian sebuah keputusan yang kelak mengubah jalan hidupnya, terbit: Balo mendapat orangtua asuh bernama Fransesco dan Silvia Balotelli. Dari kedua orangtua asuhnya itulah Mario Barwuah mendapat nama Balotelli.

Lalu cerita pun dimulai.

Hidup di Italia menjadi dua sisi mata uang bagi Balo. Kita semua tahu, Balo berkulit hitam. Sementara kedua orangtua asuhnya adalah keturunan Yahudi. Sejarah mencatat, sebanyak kurang lebih 8.000 orang Yahudi mati dalam Holocoaust Italia jaman Benito Amilcare Andrea Mussolini, diktaktor fasis sekutu Adolf Hitler itu. Dan jangan tanya berapa banyak ras kulit hitam yang raib: bahkan koloni pertama Italia di bawah Mussolini adalah negara-negara di Afrika Timur.

Kenyataan tersebut membuat Balo tak sekali dua mendapat hinaan rasis dari orang lain. Sebelum Piala Eropa 2012 dimulai, di mana ancaman rasisme jauh lebih tinggi dibanding di Italia dalam era sekarang, Balo bersumpah akan "membunuh" siapa saja yang bertindak rasis terhadapnya.

Ketika rombongan tim nasional Italia sampai di Polandia, mereka melakukan kunjungan ke kamp pembantaian Nazi di Auschwitz. Di sana Balo tak mampu menahan getir. Bukan karena ia atau keluarga sedarahnya pernah mengalami masa kelam dengan Nazi. Tetapi karena ia ingat sebuah kotak.

Di dalam kotak tersebut berisi surat-surat yang berisi tentang cerita bahwa orangtua asuhnya adalah seorang Yahudi. Dari kotak itulah Balo mengetahui latar belakang orangtua asuhnya. Ia menemukan kotak surat tersebut di bawah tempat tidurnya. Sejak itu, Balo mulai intim dengan sejarah kelam Yahudi yang diceritakan orangtua asuhnya.

Balo sejatinya tak pernah menceritakan hal tersebut kepada siapapun demi menjaga hal yang tidak diinginkan. Tetapi, menurut sebuah laporan dari Radio Netherlands Worldwide, Balo (akhirnya) menceritakan itu lantaran tak kuat menahan isak saat berada di kamp pembantaian Nazi di Auschwitz.

Kabar tersebut kemudian menyebar. Beberapa kelompok Neo-Nazi di Italia atau di luar Italia menganggap Balo--selain berkulit hitam--, juga keturunan Yahudi. Salah satu situs kelompok rasis-ekstremis di Italia, Stormfront, bahkan menulis: "Balotelli (berkulit) hitam dan (keturunan) Yahudi. Ia harusnya bermain untuk Israel, bukan Italia".

Salah satu media massa Italia pun belum lama ini, Gazzetta dello Sport, juga ikut membuat sikap rasis. Mereka menggambar kartun Balotelli yang tengah memukul keras bola dari puncak Big Ben, seperti King Kong di puncak Empire State Building.

Tetapi mental Balotelli sekuat otot-otot tubuhnya. Berkali-kali ia dihina, berkali-kali itu pula ia bangkit. Baginya, tak ada yang dapat menghalangi kecintaannya terhadap sepakbola. Ia pun memutuskan menjadi pesepakbola profesional. Dengan mengawali karir di klub Italia, Lumezzane. Lalu berlanjut ke Internazionale Milan. Dan kini ia adalah andalan Manchester City.

Cesare Prandelli lantas kepincut memanggilnya untuk ikut skuad Italia yang akan berlaga di Piala Eropa 2012. Prandelli tak peduli betapa Balo kerap kali berbuat onar di luar lapangan, bermasalah dengan sikap disiplin, dan sering bentrok dengan sesama pemain. Singkatnya, Prandelli percaya, di balik lagak angkuh Balo, akan ada gol-gol yang siap dicetak.

Dan Prandelli benar. Balo sukses menjadi pemain Italia pertama sekaligus pemain kulit hitam pertama yang sukses mencetak tiga gol di Piala Eropa 2012. Entah di mana fasis-fasis yang gemar menghinanya saat mengetahui fakta ini.

Pasca pertandingan melawan Jerman di semifinal, di mana Balo sukses mencetak dua gol untuk membuat Die Mannschaft angkat koper, ia berkata:

"Ini adalah malam terbaik saya sejauh ini dalam hidup."

Ketika banyak pemain Italia tengah bersuka cita karena telah menuju final Piala Eropa 2012, Balo justru pergi ke tribun penonton, menghampiri kedua orangtua angkatnya yang menontonnya sejak awal pertandingan. Balo lalu memeluk mereka, menangis bersama. Tangisan yang barangkali adalah tangisan paling indah baginya.

Pada momen sentimentil itu, ayah angkat Balo berkata akan membawakan cokelat untuknya pada saat laga final melawan Spanyol. Memberi Balo cokelat memang telah menjadi kebiasaannya, dan ia berharap cokelat tersebut dapat membuat performa Balo lebih baik.

Tetapi tidak semua doa adalah kenyataan. Italia dikandaskan Spanyol 0-4. Balo tak mencetak gol. Tak ada selebrasi. Toh ia pun jarang bikin selebrasi sehabis bikin gol. Dulu dia pernah berujar, tak perlu-perlu amat merayakan gol karena "tukang pos tak ada yang merayakannya setelah selesai mengantar surat".

Tapi setelah Italia dikalahkan Spanyol ia menangis sesengukan. Setelah ini Balo mungkin paham, bahwa tukang pos bisa juga menangis. Meski demikian, jika Balo adalah tukang pos, maka kedua orangtua angkatnya adalah sepasang merpati yang akan menemani Balo mencari alamat sampai di manapun.

Dan Senin dini hari tadi Balo mendapatkan sesuatu yang lebih dari piala: kedua orangtua angkat yang mencintainya dengan penuh seluruh.

Italia yang Gagal Mengulang, Spanyol yang Tetap Jadi Diri Sendiri



 Italia gagal mengulang keberhasilan mereka meredam Spanyol di pertemuan pertama mereka di fase grup. Di partai puncak taktik mereka gagal, dan Spanyol tetap menjadi diri sendiri yang memukau.

Itulah yang terjadi di laga final Piala Eropa tadi malam, yang berkesudahan 4-0 untuk Spanyol, hasil yang jauh berbeda dengan pertarungan mereka di babak grup yang berakhir sama kuat 1-1.

Cesare Prandelli hanya melakukan satu perubahan kecil pada susunan pemain belakang dengan menurunkan kembali Ignazio Abate, mengganti Federico Balzaretti di posisi fullback kiri. Tidak ada perubahan susunan pemain di sektor tengah dan depan Italia. Pola 4-1-3-2 yang dipasang ketika mengalahkan Jerman 2-0 di semifinal kembali dimainkan menghadapi Spanyol.

Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Prandelli, Vicente Del Bosque juga tidak melakukan kejutan apa-apa dalam pemilihan pemain di strating line up Spanyol. Cesc Fabregas kembali masuk di tim utama setelah di partai semifinal melawan Portugal, Del Bosque sempat membuat kejutan dengan memasang Alvaro Negredo di formasi inti.

Del Bosque kembali memainkan 4-3-3 andalannya yang sering bertransformasi menjadi 4-2-4-0 di tengah pertandingan dengan poros dua pivot di depan bek yaitu Sergio Busquets dan Xabi Alonso. Ia kali ini kembali memilih opsi memainkan striker yang bukan striker pada diri Fabregas.

Spanyol: Main Tanpa Striker, namun Striker Jadi Top Skorer



Kiev - Anda bisa melihat bahwa sepanjang turnamen Piala Eropa 2012, Spanyol nyaris selalu tampil tanpa penyerang. Namun, tak dinyana, justru penyerang mereka yang jadi top skorer turnamen.

Dengan strategi "false 9", Vicente Del Bosque kerap memainkan Cesc Fabregas untuk menggantikan peran sebagai striker tersebut. Sementara, tiga penyerang Spanyol, yakni Fernando Torres, Alvaro Negredo, dan Fernando Llorente, hampir selalu memulai laga dari bangku cadangan. Pengecualian adalah ketika memasang Torres sebagai starter di laga melawan Irlandia dan Negredo pada laga melawan Portugal.

Banyak yang menyebut bahwa permainan Spanyol jadi membosankan. Tak ada ledakan-ledakan di depan gawang lawan. Namun, beberapa lainnya menyebut bahwa Spanyol menampilkan patient football. Memainkan sepakbola dengan sabar. Mereka memutar-mutar bola sembari menunggu ada ruang terbuka di pertahanan lawan atau menunggu mereka lelah. Ketika ruang itu muncul.. Bam! Spanyol akan menghantamnya.

Strategi yang mengorbankan striker tersebut membuat Llorente sama sekali tidak bermain, Negredo tak mendapatkan banyak kesempatan, dan Torres relatif minim menit permainan. El Nino hanya bermain sebanyak 189 menit. Namun, siapa sangka bomber Chelsea itu justru bakal keluar sebagai top skorer turnamen.

Torres mencetak tiga gol sepanjang turnamen. Selain Torres, ada nama Mario Gomez, Mario Balotelli, Mario Mandzukic, Cristiano Ronaldo dan Alan Dzagoev. Sebelum laga final di Olympic Stadion Kiev, Senin (2/7/2012) dinihari WIB, Torres tak banyak dijagokan untuk menjadi topskorer dan meraih Golden Boot.

Namun, satu gol ke gawang Gianluigi Buffon di laga yang berkesudahan 4-0 untuk Spanyol plus satu umpannya ke Juan Mata, sudah cukup mengantarkan pemain 28 tahun itu untuk merebut Golden Boot.

Aturan UEFA menyebut jika ada lebih dari satu pemain yang mencetak jumlah gol sama, maka yang pertama dilihat adalah jumlah assist kemudian lama bermain. Dalam hal ini Torres dan Gomez sama-sama punya satu assist. Tapi dari menit bermain Torres bermain 81 menit lebih sedikit daripada Gomez (280). Alhasil Torres pun berhak mendapatkan Sepatu Emas.

Catatan Torres ini bak menambah daftar keunikan dan keajaiban Spanyol. Tiki-taka dan bermain tanpa striker itu saja sudah termasuk unik untuk ukuran turnamen ini. Ditambah lagi kesuksesan mereka menjadi tim pertama yang sukses mempertahankan gelar. La Furia Roja seperti tengah bercanda dengan semua nalar.

"Sepakbola tidak hanya punya satu gaya. Yang terpenting adalah mencetak gol. Para pemain kami punya intelejensia tinggi dan kami punya skuat yang seimbang. Kami memang memiliki striker, tapi kami memilih untuk memainkan pemain yang sesuai dengan gaya kami," ucap Del Bosque di Reuters.

'Tim Matador' Memang Sedang Memasuki Masa Emasnya



Kiev - Spanyol baru saja menorehkan serangkaian rekor usai menjuarai Piala Eropa 2012. Vicente Del Bosque menyebut persepakbolaan di negaranya tengah menikmati buat pembinaan berjangka yang sudah dilakukan.

Sebelum final di Olympic Stadium Kiev, Senin (2/7/2012) dinihari WIB tadi, Spanyol sudah merebut dua titel turnamen besar yakni Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010.

Spanyol pun berada di ambang sejarah yakni menjadi tim pertama yang mempertahankan titel Piala Eropa plus merebut tiga gelar turnamen besar secara beruntun. Sebelumnya belum ada negara yang mampu melakukannya.

Pada akhirnya sekumpulan 'Matador' yang dipimpin Iker Casillas mampu menggilas Italia dengan skor telak 4-0 dan sejarah baru itu pun berhasil ditorehkan mereka.

Prestasi gemilang Spanyol dalam empat tahun terakhir boleh dibilang sebagai jawaban atas sebutan tim spesialis kualifikasi yang sebelum ini kerap disematkan pada mereka.

Raihan ini tentunya tak lepas dari sekumpulan pemain hebat dalam diri Casillas, Sergio Ramos, Gerard Pique, Xabi Alonso, Sergio Busquets, Andres Iniesta, David Silva, Cesc Fabregas, Fernando Torres dll.

Para pemain yang sedang memasuki masa emasnya atau bahkan masih ada yang belum mencapai peak performance mereka. Dengan Piala Dunia 2014 tinggal berjarak dua tahun lalu, mereka yang disebut di atas plus para jugador muda lainnya masih punya kesempatan untuk membawa La Furia Roja berjaya lagi di Brasil.

Del Bosque sebagai pelatih pun adalah orang yang paling diuntungkan dengan hal ini dan menyebut sukses yang diraih timnya dalam tiga musim terakhir menunjukkan jika sepakbola Spanyol sedang memasuki masa emasnya.

"Kita berbicara soal generasi hebat para pesepakbola," tutur Del Bosque seperti dilansir AFP.

"Mereka punya akar dan mereka tahu bagaimana harus bermain bersama karena mereka berasal dari negara di mana mereka belajar bermain dengan baik," sambungnya.

"Mereka sudah melakukan tugas yang hebat. Kami punya beberapa pemain hebat yang bermain di luar, di mana dulu itu adalah hal mustahil. Kami tidak benar-benar punya pemain yang bisa bermaindi luar dan kini klub-klub luar menginginkan para pemain kami. Jadi ini adalah era hebat untuk sepakbola Spanyol," pungkasnya.

Spanyol Masih 'Lapar' Gelar


Kiev - Keberhasilan memenangi trofi di tiga turnamen besar tak membuat Spanyol berpuas diri. La Furia Roja bertekad untuk mempertahankan kejayaan mereka di turnamen-turnamen mendatang.

Piala Eropa 2012 adalah turnamen terakhir yang dimenangi Spanyol. Di partai final, Senin (2/7/2012) dinihari WIB, Cesc Fabregas cs. menghajar Italia dengan skor telak 4-0.

Piala di Polandia-Ukraina itu menambah koleksi gelar Spanyol dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, mereka juga sukses di Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010.

Melihat rata-rata usia pemain Spanyol yang masih berada di masa-masa keemasan, Fabregas yakin timnya punya masa depan yang cerah, dengan target terdekat tentu saja mempertahankan gelar Piala Dunia.

"Melihat sebagian besar dari kami yang masih 23, 24, 25, 26 tahun, kecuali dua atau tiga, itu menggambarkan kami masih bisa terus bermain," ucap Fabregas kepada Sky Sports News. 

"Namun, ini tergantung kepada kami. Kami harus benar-benar bertindak dengan tepat, kami harus terus berharap lebih dan tetap lapar akan kesuksesan," tambah gelandang Barcelona ini.

"Tentu saja tim ini telah menunjukkan hal itu dalam empat tahun terakhir dan kami harus terus begini," katanya.

"Tiap tahun akan makin sulit karena tim-tim lain makin ingin mengalahkan kami. Namun, kami harus nikmati malam ini dan selanjutnya kami akan memikirkan Piala Konfederasi tahun depan," ujar Fabregas.