Tuesday, July 3, 2012

Bahwasanya Spanyol Adalah Sebuah Revolusi



Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, lalu Piala Eropa 2012. Tak ada tim manapun di dunia yang pernah mencetak hat-trick seperti ini kecuali Spanyol. Bahwasanya Spanyol adalah sebuah revolusi dalam sepakbola.

Setidaknya, dua kali Spanyol membuat maestro lapangan tengah Italia, Andrea Pirlo, menangis.

Pada 22 Juni 2008, lewat drama adu penalti, Spanyol mengalahkan Italia di perempat final Piala Eropa 2008. Cesc Fabregas yang menjadi eksekutor terakhir berhasil mengecoh Gianluigi Buffon dan memastikan satu tempat di babak semifinal bagi Spanyol. Sementara Pirlo hanya bisa menyaksikan kepahitan peristiwa itu di pinggir lapangan karena tak bisa bermain akibat akumulasi kartu kuning. Dengan berurai air mata ia lalu menghibur teman-temannya yang hanya bisa tertunduk lesu.

Bagi Spanyol kemenangan tersebut seakan melepaskan mereka dari "kutukan perempat-final". Selama 44 tahun, semenjak 1964, hanya sekali Spanyol pernah melenggang keluar dari babak perempat final, yaitu pada Piala Eropa 1984 (kemudian kalah di final oleh Prancis). Selama 44 tahun lamanya mereka harus menanggung label sebagai "tim yang cantik" namun tak tahu caranya menang.

Pada 22 Juni 2008, lewat tendangan penalti Fabregas, semua itu berubah. Italia, sang raksasa sepakbola, tim yang bisa melakukan segalanya untuk menang, dan pemegang gelar juara dunia 2006 kala itu, berhasil ditundukkan. Spanyol melaju hingga ke final dan meraih gelar keduanya di panggung internasional.

Empat tahun kemudian, pada 1 Juli 2012, kembali Fabregas menjadi salah satu aktor utama. Ditempatkan sebagai ujung tombak formasi tanpa striker, assist-nya pada David Silva di menit ke-14 membuka kran gol Spanyol ke gawang Buffon.

Pirlo pun kembali menangis. Ia yang digadang-gadang sebagai pemain terbaik Piala Eropa harus menyaksikan bagaimana Xavi, Andres Iniesta, Fabregas, dan Silva mempermainkan lini pertahanan Italia tanpa sekali pun Italia bisa memberikan perlawanan.

Empat gol yang berhasil dilesakkan ke gawang Buffon tersebut jadi sekian penegasan Spanyol pada dunia, bahwa Italia bisa dikalahkan lewat waktu normal; bahwa permainan tiki-taka mereka bukan sepakbola yang membosankan; bahwa formasi tanpa striker mereka bisa membuahkan gol; bahwa keputusan mereka tetap setia pada satu filosofi sepakbola, yang telah diusung selama puluhan tahun, bisa membuat mereka jadi salah satu, atau bahkan, tim terbaik sepanjang masa. Bahwa.... Bahwa... dan bahwa...

Possession, Possession, Possession

"Ide sepakbola kami adalah sesuatu yang tak bisa ditawar," ujar Vicente Del Bosque sebelum Piala Eropa dimulai. Walau ia sadar akan adanya kelemahan-kelemahan dengan gaya bermainnya, ia menegaskan bahwa sepakbola yang berbasis pada penguasaan bola akan tetap menjadi pilihan Spanyol.

Ya, Spanyol bukan Italia yang sedang mengubah citra sepakbola defensifnya. Mereka bukan pula Inggris yang selalu mencari identitas dan konsep baru setiap kali tersingkir dari turnamen.

"Percayalah pada kami," Iniesta pun ikut angkat bicara saat keragu-raguan timbul di benak para suporter Spanyol, ketika Kroasia tak berhasil dikalahkan dengan meyakinkan.

Menurut Sid Lowe, jurnalis sepakbola Spanyol di koran Guardian, tiki-taka sendiri bukan seluruhnya mengenai kreativitas, tetapi kontrol. Kekuatan Spanyol tidak terletak pada bagaimana pemain-pemainnya didistribusikan di lapangan, atau pemilihan formasi, tapi pada paradigma bahwa ball possession adalah segalanya, baik saat menyerang maupun bertahan.

Salah satu nabi sepakbola menyerang, Zdenek Zeman, pernah mengkritik filosofi ini. Menurutnya passingatau umpan itu harus memiliki makna. Harus dilakukan dengan tujuan untuk melukai lawan. Passing ke samping kiri atau kanan, hanya demi penguasaan bola, dalam benak Zeman jadi hal yang sia-sia untuk dilakukan.

Tapi justru bagi Spanyol kendali akan bola ini memiliki banyak arti. Saat mengendalikan bola pemain-pemain Spanyol beristirahat dan mendapatkan kembali energi. Pengendalian bola juga merupakan bentuk pertahanan terbaik mereka, karena lawan-lawannya tak mungkin mencetak tanpa merebut bola terlebih dahulu.

Selain itu, tim yang jadi lawan Spanyol pun semakin lama energinya akan terkuras habis. Selain karena frustasi mengejar bola, energi ini habis karena bermain dengan pola bertahan lebih melelahkan secara mental. Mungkin tim yang memainkan formasi bertahan tidak terlampau banyak melakukan aktivitas fisik. Namun secara psikologis mereka terus menerus berada di dalam tekanan lawan. Dibutuhkan konsentrasi pada level sempurna untuk dapat mengimbangi Spanyol dengan menggunakan sepakbola bertahan.

Maka tak heran jika pada saat Spanyol bangkit pada 2008, mereka tak melakukannya secara setengah-tengah. Jerman, Belanda, Brasil, atau bahkan Inggris pernah melahirkan generasi emas yang berhasil merebut gelar. Tapi Spanyol menyuguhkan dominasi total. Prestasi merebut 3 gelar juara secara berturut-turut belum pernah dilakukan negara manapun sebelumnya, dan mungkin tidak akan pernah terulang kembali.

Spanyol, Barcelona, dan Johan Cruyff

Bukan kebetulan jika dominasi Spanyol di level internasional ini berbarengan munculnya dengan dominasi Barcelona pada level klub. Aktor-aktor di belakang mesin sepakbola klub catalan tersebut juga jadi aktor sama yang menggerakkan timnas Spanyol: Xavi, Iniesta, Fabregas, Sergio Busquet, dan Gerard Pique.

Apa yang dilakukan oleh Spanyol dan Barcelona ini tergolong unik karena belum pernah dilakukan negara lainnya. Ketika Ajax mendapatkan 3 gelar Liga Eropa pada 1971 hingga 1973, Belanda tak serta merta menjadi juara dunia. Pun saat Liverpool menguasai kompetisi Eropa pada awal dekade 1980-an prestasi Inggris masih biasa-biasa saja. Bahkan, saat Inter Milan jadi klub Italia pertama yang mendapatkan tiga gelar utama dalam satu musim (treble), timnas Italia malah gagal lolos dari fase grup piala dunia. Begitu juga saat AC Milan menjadi The Dream Team pada akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an, Italia tak mendapatkan gelar apa pun.

Mungkin jawabannya terletak pada, dan lagi-lagi karena, kesetiaan pada satu identitas yang sama. Generasi emas pesepakbola Spanyol dan Barcelona bukan ada karena kebetulan namun dilahirkan oleh suatu sistem yang telah berjalan selama lebih dari 20 tahun.

Untuk memainkan gaya sepakbola ala Spanyol dibutuhkan suatu keharmonisasian dan pengertian yang kuat antar pemain. Mereka-mereka yang mengenakan lambang Catalan di dadanya sejak belia telah ditanamkan pikiran bahwa melakukan passing ke temannya, bahkan dalam kondisi tertekan, adalah suatu kewajiban. Bahwa melakukan umpan panjang, dan mereduksi sepakbola menjadi permainan anarkis yang bergantung pada kesempatan, adalah dosa besar.

Di balik penguasaan bola tim Spanyol dan Barcelona ada keterbiasaan yang lahir karena latihan bersama selama ratusan kali semenjak kecil. Ada pengertian yang timbul dari pemahaman ke mana arah teman bergerak di lapangan. Ada keteguhan untuk tetap coba melakukan hal yang sama, walaupun hasilnya tak instan langsung terlihat.

Untuk itu, publik Spanyol patut berterimakasih pada Johan Cruyff, sang patron Barcelona. Adalah Cruyff yang menancapkan filosofi tersebut ketika ia mengambil alih tim Barcelona pada 1988. Pelatih Belanda ini kemudian dengan ide-ide liarnya merevolusi La Massia, akademi sepakbola yang melahirkan tiga pemain terbaik dunia saat ini Xavi, Iniesta, dan Lionel Messi.

Cruyff juga lah yang memilih seorang Pep Guardiola jadi kapten. Nama yang disebut belakangan ini kemudian jadi otak utama bangkitnya sepakbola yang diusung oleh anak-anak yang lahir dari filosofi sepakbola Cruyff.

"Suatu hari saya akan mengubah dunia sepakbola," celoteh Cruyff pada temannya di suatu hari pada tahun 1988. Bagaimana? "Bek-bek saya akan menjadi pemain tengah; saya akan memainkan dua pemain sayap dan tak menggunakan seorang striker," ujarnya lagi.

Dua empat puluh tahun kemudian, melalui idenya yang ditularkan lewat pemain Barcelona dan Spanyol, Cruyff membuktikan ucapannya. 

No comments:

Post a Comment