Monday, July 2, 2012

'Yo Soy Espanol! Yo Soy Espanol!'



Tanyakan pada Pele, si Mutiara Hitam itu, bagaimana caranya membuat rakyat yang sedang kelaparan bisa tersenyum sejenak.

Brasil didera oleh bencana kemiskinan terbesar dalam sejarahnya pada kurun waktu 1950-1970. Namun pada periode itu juga, tim Samba—julukan timnas Brasil—berhasil memboyong Piala Dunia hingga tiga kali (1958, 1962, 1970) – dan sekali meraih Runner-up (1950). Alhasil, di tengah kepahitan ekonomi yang mencekik dan perut keroncongan, rakyat Brasil masih bisa bersorak-sorai dan menari Samba di jalan-jalan meski tahu trofi takkan menyelesaikan masalah finansial negara atau mengenyangkan perut mereka.

Tidak terpungkiri, sepakbola memiliki daya magis bagi banyak orang yang mencintainya. Apalagi bagi orang Brasil yang 74% penganut Katolik Roma, sepakbola sudah ibarat—meminjam perspektif sosiolog agama, Robert N. Bellah—Civil Religion; sebuah kepercayaan, kumpulan nilai, dan praktek yang punya teologi dan ritual tersendiri. Ia memberi penghiburan sekaligus harapan sebagaimana agama konvensional, dengan nabi-nabi dan juru selamat seperti Pele, Romario, Ronaldo. Begitu pula halnya negara-negara Eropa yang memiliki tradisi dan kultur sepakbola kuat seperti Inggris, Jerman, Belanda, atau Spanyol.

Dan Xavi Hernandes, playmaker La Furia Roja—sebutan timnas Spanyol—itu tentunya sadar betul hal ini. 'Agar rakyatnya bisa sedikit tersenyum', begitulah keinginan sekaligus keyakinan sang bintang Barca, maka sebuah gelar juara, sebuah trofi supremasi sepakbola tertinggi di benua putih niscaya haruslah diraih.

"Kami sedang berada di tengah krisis, dan untuk satu hal, sepakbola bisa menjadi sesuatu yang bagus. Bila tim nasional bermain baik, pastilah akan berpengaruh terhadap karakter masyarakat kami," tandasnya.

Xavi tak berlebihan, dalam banyak kasus terbukti sepakbola ternyata mampu menawar kesedihan, kesengsaraan, kemiskinan, serta ketidakadilan dalam masyarakat. Atau, sebaliknya membuat penduduk suatu negeri bermuram durja.

Untuk bangsa Yunani di tahun 2004, sepakbola adalah sumber pembebasan yang memberikan kekuatan dan kegembiraan tatkala timnas mereka yang tak diperhitungkan berhasil meraih Piala Eropa justru di tengah sendi perekonomian mereka yang luluhlantak. Sementara ketika Jerman ditaklukkan 0-2 oleh Brasil di final Piala Dunia 2002, media sempat menggambarkan suasana di Berlin dan kota-kota besar Jerman lainnya konon mencekam seperti kota hantu: jalan-jalan sepi, toko-toko tutup, dan hampir seluruh penduduk Jerman tampak berwajah murung, bahkan banyak yang menangis seakan tak percaya Der Panzer bakal kalah.

"Kemenangan atas Inggris seakan-akan menyelesaikan segala krisis yang melanda di Argentina kala itu," demikian Jorge Valdano, mantan pemain Argentina mengenang kemenangan mereka di semifinal Piala Dunia 1986.

Sepakbola tak hanya membawa berkah bagi ekonomi tetapi juga sosial dan politik. Tim Matador sendiri tohpernah merasakan berkah sosial-politik ini dua kali secara beruntun, yakni ketika menjadi juara Euro 2008 dan Piala Dunia 2010.

"Yo Soy Espanol! Yo Soy Espanol!" ("Saya orang Spanyol! Saya orang Spanyol!") begitulah teriakan para pemuda Catalan yang biasanya apatis terhadap tim nasional tiba-tiba membahana di jalan-jalan Catalunya ketika Iker Casillas dkk sukses menundukkan Belanda di Stadion Soccer City, Afrika Selatan, lewat gol tunggal Andres Iniesta. Dan untuk pertama kalinya di daerah Catalan pun berkibar bendera Spanyol.

Ya, akibat dominasi pemain Barcelona dalam skuad asuhan Vicente del Bosque, kemenangan yang dipetik La Furia Roja dengan gemilang itu pun serta merta melenyapkan primodialisme di negeri matador untuk sementara waktu. Padahal selama ini beragamnya etnis (Castilla, Catalan, Sevillano, Basque, dan lain-lain) membuat mereka nyaris sulit meleburkan identitas di bawah bendera Espana. Bukankah dalam berbagai laga international Barcelona kerap ditemukan poster-poster berbunyi 'Catalan is not Spain'?

"Jika kita memahami sepakbola dalam segala aspeknya, maka kita juga memahami hidup sendiri," kata sosiolog Dirk Schuemer.

Karena itu, juga pada Piala Dunia 2010, di hadapan para pemain Les Bleus—julukan timnas Prancis—pasca kasus Nicolas Anelka, Menteri Olahraga Prancis, Roselyne Bachelot menyatakan: "Tanggungjawab yang lebih besar ada pada kalian semua begitu kalian mengenakan kostum nasional Prancis. Tanggungjawab itu yakni melakukan hal terbaik dalam sepakbola, menjadi contoh karena Anda ditonton. Banyak anak-anak remaja yang bermain sepakbola dan menjadikan kalian semua sebagai contoh, sebagai idola."

Kata-kata Bachelot ini selain melukiskan krisis multidimensi yang sedang melanda Eropa pada tahun-tahun terakhir, tentunya juga mengandung makna dan pengharapan serupa dengan apa yang diungkapkan Xavi, yaitu bahwa di tengah ancaman pengangguran dan PHK, kenaikan harga, bangkrutnya perbankan, dan lain-lain yang membuat sebagian masyarakat Eropa mesti hidup di bawah tekanan sosial-ekonomi itu; sebuah kemenangan dalam sepakbola atau penampilan yang cemerlang sesungguhnya memang mumpuni sebagai pelepas depresi.

Akan ada banyak orang yang menjalani hari-harinya dengan wajah lebih ceria dan terpompa semangatnya dalam bekerja tatkala tim kesayangannya tampil bagus atau memenangkan duel. Atau paling tidak, mereka bisa menyalurkan rasa frustasi dengan berteriak-teriak di depan televisi saat tim kesayangan itu berlaga. Dengan demikian, berbagai problem hidup yang kian mencekik pun seolah terlupakan untuk sesaat.

Ah, di sinilah kiranya, berlaku pameo tua 'sirkus dan secuil roti' yang menjadi trik politik para penguasa dari jaman ke jaman. Baik ketika terjadi bencana, saat sebuah kekuasaan terancam, maupun untuk menutup-nutupi kebusukan sang penguasa. Ya, agar kekuasaan tidak chaos dan rakyat tidak berontak, seyogianya mereka haruslah 'terhibur' dan 'kenyang'. Sehingga seorang politikus kawakan seperti Bachelot pasti paham bahwa turnamen sekaliber Piala Dunia mestinya mampu mengalihkan perhatian rakyatnya dari himpitan finansial pelik yang mengglobal.

Sepakbola adalah sirkus moderen yang membawa kebahagiaan bagi jutaan orang di seluruh muka bumi. Di luar hitungan ekonomi dan hukum pasar, di dalamnya selalu terkandung etos dan kebanggaan yang mewakili makna asali dari game: kita bermain dan menemukan kegembiraan dalam permainan itu.

Tentu Bachelot tak ingin mengalami nasib seperti Presiden Argentina, Irigoyen, yang harus rela dikudeta usai pasukan Tango—julukan timnas Argentina—kalah melawan tuan rumah Uruguay di final Piala Dunia 1930 (kendati hal ini sulit terjadi di Prancis). Sementara, para punggawa La Furia Roja semacam Xavi Hernandes adalah para penghibur dengan beban nasionalisme dan patriotisme di atas bahu.

Hm, apa boleh buat, pada Piala Dunia 2010 Prancis harus pulang lebih dini dari Afrika Selatan. Dan kini, 23 Juni lalu di Stadion Donbass Arena, Donetsk, Ukraina, mereka pun diusir dari babak perempat final Euro 2012 oleh Xavi dkk dengan skor 0-2.

"Kami mencapai target pertama kami dengan lolos dari fase grup, kemudian kami harus menghadapi Spanyol, tim terbaik di dunia. Kami harus mencoba hal yang tak mungkin," aku kapten "Ayam Jago", Hugo Lloris, terus-terang di situs resmi UEFA.

Sepakbola memang begitu luar biasa, sampai-sampai kita dapat berguru pada pertandingan bagaimana cara mengolah hidup. Bahkan seorang Johan Cruyff tak urung berkata bahwa mereka yang tidak mengerti sepakbola adalah mereka yang tanpa hati nurani.

Bagi orang Cile di tahun 1962 contohnya, olahraga ini bukan saja telah memulihkan perekonomian mereka yang hancur lebur akibat gempa sebesar 9,5 skala richter pada tahun 1960, tetapi juga menjadi obat mujarab bagi luka mereka yang ditimbulkan oleh bencana alam dashyat tersebut.

"Kami harus mendapatkan Piala Dunia karena kami tidak punya apa-apa lagi," kata Carlos Dittborn, Presiden sepakbola Cile yang kala itu menolak keras rencana FIFA memindahkan perhelatan Piala Dunia 1962 dari negerinya pasca gempa. Dan hasilnya memang tak sia-sia. Rakyat Cile bisa kembali tersenyum saat negara Amerika Latin itu berhasil menempati posisi ketiga dengan mengalahkan juara Piala Eropa 1960 Uni Soviet di perempat final.

Ah, di Polandia-Ukraina, tekad Xavi dkk untuk memberikan yang terbaik pada rakyatnya tentulah bukan sesumbar. Tapi mesti dibuktikan dengan kerja yang tak mudah. Apalagi mengingat saat ini Spanyol memang termasuk dalam lima negara Uni Eropa dengan krisis ekonomi terberat yang kerap disingkat PIIGS(Portugal, Irlandia, Italia, Greece (Yunani), Spanyol).

Bermula dari Yunani lima tahun silam, krisis finansial ini—yang disebut-sebut sebagai krisis terparah sepanjang sejarah negeri Ratu Isabella itu akibat resesi Eropa—bahkan telah berdampak pada kesehatan keuangan klub-klub besar di La Liga seperti Real Madrid dan Barcelona. Jauh sebelum majalah bisnis Amerika Serikat, majalah Forbes menempatkan keduanya pada ranking satu dan dua dalam daftar 20 klub terkaya dunia, data dari Kementerian Olahraga Spanyol misalnya, menyebutkan utang Real Madrid mencapai 589 juta euro dan Barca sebesar 578 juta euro meski jumlah utang itu hanya 13% (Madrid) dan 58% (Barca) dari nilai seluruh aset mereka. Sedangkan Atletico Madrid dan Valencia masing-masing 514 juta euro dan 382 juta euro, belum lagi klub-klub lebih kecil seperti Real Mallorca, Real Zaragoza, Real Betis, Rayo Vallecano, dan Granada.

Jadi kendati tak mampu membantu PM Spanyol Mariano Rajoy mengatasi krisis, toh "Kami harus membawa ini sampai ke final. Kami tak boleh berpuas diri karena setiap laga adalah final," tukas Sergio Ramos sebagaimana dilansir sejumlah media usai menundukkan A Seleccao das Quinas 4-2 melalui drama adu pinalti, 27 Juni 2012 malam di Donbass Arena, Donetsk, Ukraina.


No comments:

Post a Comment