Tuesday, July 3, 2012

Epilog Polandia-Ukraina



Piala Eropa 2012 sudah habis. Piala Eropa kini sampai pada tahap epilog. Hanya tinggal ringkasan-ringkasan dan, mungkin, pelajaran yang tersisa.

Saya sendiri selalu percaya bahwa sepakbola punya pelajaran dan ceritanya sendiri. Entah dari lapangan atau kejadian-kejadian di seputarnya. Anda bisa melihat bagaimana formasi 4-2-3-1 berevolusi di hijaunya lapangan, tapi di lain kesempatan menjadi bagian dari revolusi di luar lapangan. Februari silam, 74 orang meninggal dan 1.000 orang luka-luka dalam laga antara Al Ahly melawan Al Masry di Mesir. Bentrok antarsuporter biasa? Bukan. Ada permusuhan politik terselubung di antara kedua tim. Pendukung Al Ahly kebanyakan mendukung pencopotan Hosni Mubarak, sementara Al Masry sebaliknya.

Tapi tunggu. Ah, mungkin terlalu jauh mengambil contoh sampai ke Mesir. Mari mundur sedikit lagi ke November 2011, ke Gelora Bung Karno, ke waktu di mana Indonesia tengah berusaha meraih medali yang sudah lama diidam-idamkan. Waktu di mana mereka harus menghadapi negara tetangga yang belakangan jadi rival berat; Malaysia. Anda mungkin masih ingat hasil akhirnya: Indonesia kalah adu penalti dan harus menunggu lebih lama lagi akan gelar yang diidam-idamkan itu.

Layaknya Piala AFF setahun sebelumnya, cabang sepakbola SEA Games mengundang animo besar masyarakat. Orang-orang yang tadinya tak bisa menyaksikan sepakbola langsung ke stadion mendadak jadi latah. Alhasil, penonton membludak. Penonton berdesak-desakan di pintu masuk stadion. Dan, sayangnya, sampai menimbulkan korban jiwa. Ini adalah cerita pilu, yang sampai saat ini entah sudah dipetik pelajarannya atau belum oleh federasi sepakbola kita itu. Belum lagi soal cerita penonton yang bisa masuk menonton tanpa tiket.

Bagi saya, laga final tersebut akan selalu diingat sebagai cerita di mana saya menonton sebuah laga dari dekat... dalam arti sesungguhnya. Sebagai imbas buruknya manajemen penonton, tribun media yang (harusnya) hanya dikhususkan untuk awak media menjadi penuh dengan penonton. Banyak penonton yang memegang tiket VIP mengaku tak mendapatkan tempat duduk di tribun VIP. Bagaimana bisa? Entahlah.

Saya tidak tahu apakah Indonesia sudah bisa mengambil pelajaran dari kekacauan-kekacauan semacam itu. Belum ada lagi turnamen yang dihelat di negara ini dan belum ada lagi antusiasme sebesar itu mampir. Dan imbasnya, belum juga bisa dibuktikan bagaimana federasi sepakbola kita itu akan menangani kejadian dan kondisi serupa.

Dari lapangan sendiri, ada pelajaran yang ketika itu diutarakan Rahmad Darmawan dalam kritik yang membangun. Ia mengeluhkan para pemain-pemain mudanya masih kerap terburu-buru melepas bola ke depan, dari satu bola panjang ke bola panjang lainnya, sehingga mudah kehilangan penguasaan bola. Tak ada operan-operan pendek yang diintruksikannya. Dari sini, timnas U-23 belajar bahwa seharusnya begitulah cara efektif memainkan sepakbola. Sayang, RD tak melanjutkan jabatannya setelah turnamen itu.

***

Maka, sampailah kita di Piala Eropa. Dimulai di Warsawa dan berakhir di Kiev. Di antara kedua kota itu berceceran cerita-cerita, mulai dari bentrok antara suporter Polandia dan Rusia--yang disebut kental akan latar belakang keras dari kedua negara--sampai cerita di Gdansk, di mana para suporter Republik Irlandia dengan lantang menyanyikan The Fields of Athenry. Suporter Irlandia seperti mengajarkan bahwa demikianlah cara kalian mendukung tim kesayangan kalian; kalah tak mengapa, yang penting kalian bisa mendukung sesuka hati dan merayakannya secara komunal, secara kebersamaan.

Piala Eropa 2012 juga mengajarkan bahwa Polandia akhirnya bisa menjadi negara eks-komunis pertama yang bisa menggelar turnamen besar sepakbola. Polandia juga menunjukkan bahwa mereka kini punya talenta-talenta bagus pada diri Robert Lewandowski--si pencetak gol pertama turnamen--, Jakub Blaszczkykowski, dan Lukasz Piszczek, yang kebetulan ketiganya adalah bagian penting dari kesuksesan Borussia Dortmund dalam dua musim terakhir. Polandia tak lagi hanya dikenal berkat Wojciech Szczesny atau Tomasz Kuszczak, yang kini bahkan sudah tidak masuk tim nasional lagi.

Yang paling fenomenal dari turnamen ini mungkin adalah Spanyol. Gaya tanpa penyerang dan taktik "false 9"yang sebenarnya tidak baru-baru amat dieksploitasi dengan baik. Gaya yang juga pernah dipraktikkan oleh Pep Guardiola di Barcelona itu diejawantahkan dengan baik oleh Vicente Del Bosque melalui sosok Cesc Fabregas. La Furia Roja pun sukses, kendati ada suara-suara sumbang yang menyebut mereka membosankan. Entah membosankan atau tidak ketika akhirnya mereka sukses menggulung Italia empat gol tanpa balas di final.

Dari sisi yang membela, Spanyol disebut memainkan patient football. Mereka memainkan sepakbola dengan sabar. Mereka memutar-mutar bola sembari menunggu ada ruang terbuka di pertahanan lawan atau menunggu mereka lelah. Ketika ruang itu muncul, maka mereka akan menghantamnya. Italia sempat berhasil meredam gaya ini ketika bermain dengan formasi 3-5-2 di fase grup. Sayang, Italia tidak setia kepada gaya itu dan akhirnya mengalami keruntuhan di partai puncak.

Bagi Spanyol, kemenangan dengan setia kepada gaya mereka sepanjang turnamen adalah sebuah kebanggaan. Del Bosque juga mengajarkan bahwa sepakbola bisa bercanda dengan nalar. Bagaimana tidak, ia nyaris memainkan taktik tanpa penyerang di setiap laga di turnamen ini. Namun, justru penyerang dari timnya lah yang berakhir sebagai top skorer.

"Sepakbola tidak hanya punya satu gaya. Yang terpenting adalah mencetak gol. Para pemain kami punya intelejensia tinggi dan kami punya skuat yang seimbang. Kami memang memiliki striker, tapi kami memilih untuk memainkan pemain yang sesuai dengan gaya kami," demikian ucapnya.

Italia sendiri layak mendapatkan respek. Tidak sedikit yang lebih menjagokan Spanyol bertemu Jerman di final. Tetapi, tim besutan Cesare Prandelli itu berhasil memutar-balikkan banyak prediksi. Mereka membuatDie Mannschaft tak berkutik di semifinal. Kreativitas yang dimiliki anak-anak Jerman kalah dibandingkan yang dimiliki Andrea Pirlo dkk. Gli Azzurri mengajarkan bahwa sepakbola bukanlah sebuah permainan yang kaku. Taktik dan strategi bisa berubah menyesuaikan tim yang akan dihadapi. Strategi mengubah formasi dan taktik demikian jamak dan bisa berhasil jika dipraktikkan dalam sebuah turnamen.

Apa pun, Italia pada akhirnya tak bisa berbuat banyak. Pirlo yang sepanjang turnamen tampil ajaib bak mati semalam. Pirlo terisolasi, tak ada Daniele De Rossi dan Claudio Marchisio di dekatnya, sementara Spanyol sukses memainkan gaya mereka sendiri di hadapan para gelandang Italia. Ujung-ujungnya, keempat pun gol lahir dari cara yang sama persis: umpan terobosan dari tengah. Prandelli sempat berusaha memainkan Thiago Motta--yang tampil bagus pada pertemuan di fase grup--tetapi sang gelandang akhirnya malah cedera dan menjadi bumerang untuk Italia. Dengan keadaan 11 vs 10, pertandingan pun disebut-sebut sudah habis.

Dan begitulah Piala Eropa selesai. Anda masih bisa melihat dan mengulang-ulang lagi pelajaran dan cerita yang bersebaran di dalamnya. Karena memang demikianlah sepakbola; dilihat, dipelajari, dinikmati, dan diresapi. Begitulah cara menikmatinya.

No comments:

Post a Comment