Friday, June 22, 2012

Merah Redup 'Setan Merah'



Kegagalan tetaplah sebuah kegagalan, seperti apa pun bentuknya. 'Setan Merah' mau tak mau harus mengakui bahwa merah mereka tidak menyala terang musim ini.

Jose Mourinho pernah berujar bahwa dirinya lebih suka memenangi liga ketimbang Liga Champions. Alasannya? Memenangi liga butuh konsistensi sepanjang musim. Berbeda halnya dengan Liga Champions, yang terkadang suksesnya bisa ditentukan lewat performa dari dua buah leg. Singkat kata, Mourinho ingin menggarisbawahi bahwa memenangi liga lebih sulit dari Liga Champions.

Dan di sinilah kita sekarang... Beberapa musim setelah komentar Mourinho itu terucap. Manchester City baru saja berhasil menjuarai Liga Inggris lewat dua buah gol di injury time--gaya yang sebenarnya selama ini menjadi trademark dari Manchester United. The Citizens mengakhiri puasa 44 tahun gelar juara Liga Inggris, sementara The Red Devils pun dibuat hampa gelar.

Beberapa mungkin bisa berkilah bahwa MU sudah mendapatkan Community Shield musim ini. Caranya pun dengan mengalahkan City pula. Tetapi percayalah, jika Roy Keane masih menjadi kapten, maka ia tak akan terlalu senang dengan pencapaian itu. Keano pernah tertangkap basah kamera mengangkat trofi Community Shield dengan muka datar. Biasa-biasa saja.

Dalam tujuh tahun terakhir, ini merupakan musim terburuk MU. Ketika itu di musim 2004/2005, MU sama sekali gagal mempersembahkan trofi buat fansnya: duduk di posisi tiga Premier League, jadi runner up Piala FA, semifinalis Piala Liga Inggris, runner up Community Shield, dan terdepak di fase knock-out pertama Liga Champions.

MU, beserta pendukungnya, memang layak kecewa. Tapi, mau tak mau mereka harus mengakui bahwa City tampil lebih baik dan punya skuad yang relatif lebih baik pula. Setidaknya City tidak membuyarkan kesempatan ketika mereka harus meraihnya, dan ini dibuktikan pada laga melawan Queens Park Rangers semalam. Sementara itu, MU mungkin mengutuki kegagalan mereka mempertahankan keunggulan delapan poin yang sempat ada.

City memang sempat tampil off-form di bulan Maret, di mana mereka menelan satu kekalahan dan dua hasil imbang dari lima laga yang dijalani. Tetapi, mereka justru bangkit di saat yang tepat. Berkebalikan dengan MU yang justru punya start sangat brilian di awal musim--menang besar atas Arsenal dan Bolton, lalu menang meyakinkan atas Chelsea--tapi justru melempem di pertengahan musim dan tersandung ketika harusnya mereka berlari kencang.

MU mungkin tengah menyesali poin-poin yang hilang akibat performa yang kerap naik-turun itu. Sebab, siapa sangka mereka hanya akan kalah oleh selisih gol. Gary Neville menyebut, kehilangan gelar juara akibat kalah selisih gol adalah apa yang selalu ditakutkan Sir Alex Ferguson selama ini. "Itu adalah mimpi terburuknya. Kehilangan gelar juara karena selisih gol adalah apa yang selalu dia ungkapkan di setiap musim," ungkap mantan kapten 'Setan Merah' ini.

********

London, 28 Mei 2011, Sir Alex Ferguson tersenyum seraya menjabat tangan Pep Guardiola. Padahal timnya baru saja dikalahkan Barcelona 1-3. Tapi, pria asal Skotlandia itu mengaku tak menyesal kalah dari permainan sepakbola yang diperagakan tim sekelas Barca. Dasar Fergie, kekalahan pun dipandangnya sebagai sebuah tantangan baru. Sejak kekalahan di Wembley itu, ia bertekad untuk menjungkalkan Los Cules--sama seperti ketika ia bertekad untuk menjungkalkan Liverpool dari takhta penguasa Liga Inggris.

Beberapa bulan berselang, Fergie membawa skuadnya yang baru ditinggal Paul Scholes dan Edwin Van der Sar ke Amerika Serikat untuk melakukan tur pra-musim. Di sini ia menemukan betapa briliannya Tom Cleverley dan padunya ia dengan Anderson di lini tengah. Nama yang disebut belakangan berjanji akan tampil maksimal di musim baru andai mendapatkan persiapan yang cukup selama pra-musim. Keduanya tampak menjanjikan sehingga Fergie pun memilih untuk tak membeli seorang gelandang untuk menggantikan Scholes.

Cleverley dan Anderson pun tampil menjanjikan di awal-awal musim, sampai akhirnya tiba laga melawan Bolton. Cleverley cedera akibat mendapatkan tekel dari Kevin Davies dan akhirnya harus menghabiskan sepanjang musim bolak-balik ruang perawatan. Ketika ia kembali bermain, performanya pun tak kunjung kembali seperti ketika di awal musim. Bagaimana dengan Anderson? Sepekan setelah melawan Bolton, ketika menghadapi Chelsea, ia tampil biasa-biasa. Ia hanya bertahan sampai menit 63 sebelum akhirnya digantikan Michael Carrick. Penampilannya pun tak kunjung sama lagi. Banyak yang menilai Anderson kehilangan partner sehati di lini tengah pada diri Cleverley.

Lini tengah MU pun limbung. Mereka kerap tampil "kurang darah" dan akhirnya tampil relatif datar dengan permainan yang nyaris tak atraktif. Hal ini diperparah dengan absen dan cederanya sejumlah pemain seperti Darren Fletcher, Nemanja Vidic, hingga Chris Smalling. MU memang layak bangga bahwa dengan skuad compang-camping saja mereka bisa duduk di posisi dua. Namun, bukan itu intinya. Dengan pilihan pemain yang terbatas dan skuad yang nyaris tidak dalam, MU tidak bisa mengembangkan taktik ataupun strategi. Mereka memang sukses, tapi permainannya tidak terlalu menyenangkan untuk dilihat.

Situs taktik Zonal Marking, pernah melabeli MU pada periode 2006 hingga 2009 sebagai salah satu tim terbaik dekade ini. Tim dari era tersebut telah membuat MU meraih tiga titel Premier League, dua Piala Carling, satu Liga Champions, dan satu Piala Dunia Antarklub. Fergie dengan bebas bisa mengkreasikan formasi dari 4-4-2, 4-5-1, 4-2-3-1, hingga 4-3-3 tanpa striker murni. Hal itu mungkin dilakukannya karena ia punya Cristiano Ronaldo, Carlos Tevez, dan Wayne Rooney di depan, gelandang-gelandang lincah semodel Park Ji-Sung dan Nani di sayap, visi passing dari Scholes dan Carrick, serta kegigihan seorang Owen Hargreaves. Tak lupa pula, Rio Ferdinand dan Vidic juga tengah berada dalam performa puncak.

Fergie, meskipun sepuh untuk ukuran seorang manajer, tidak buta taktik sepakbola modern. Meski kerap mematok formasi 4-4-2, pola tersebut kerap berubah seiring dengan berjalannya pertandingan atau musim. Di era 90-an ia tak ragu memasang 4-4-1-1 dengan Eric Cantona berdiri di belakang striker atau memasang Scholes sebagai second striker. Keinginannya untuk terus menang dengan sepakbola menyerang telah membawanya ke berbagai momen dan situasi, mulai dari membawa Aberdeen menjungkalkan Real Madrid milik Alfredo Di Stefano pada final Piala Winners 1983, hingga pada keinginan ingin merekrut Guardiola dari Barcelona. Ia akhirnya berhasil menerapkan taktik operan satu-dua sentuhan di dalam tubuh MU dalam pencariannya akan sebuah tim terbaik.

Hal itulah yang hilang dari tubuh MU musim ini. Selepas 2009, banyak yang menilai kualitas MU menurun secara permainan, meski sukses mendapatkan satu trofi Premier League dan melaju ke final Liga Champions satu kali lagi. Fergie tak punya lagi Ronaldo yang getol mencetak gol dengan ditopang Rooney dan Tevez yang versatile dan rajin turun ke tengah untuk mencari bola. Tak ada lagi inovasi taktik. MU begitu mono-dimensional. Mereka terkadang mengandalkan serangan Antonio Valencia dari sisi kanan hingga menurunkan Rooney ke lini kedua untuk mengirim umpan jauh. Alhasil, Scholes pun sampai dipanggil kembali dari masa pensiunnya. Sebelum Scholes datang, persentase passing MU tak ada di papan atas deretan tim dengan statistik passing terbaik di Premier League.

Dengan tipikal permainan seperti itu, jangan heran jika MU gagal total di Eropa. Mereka tak mampu lolos dari fase grup Liga Champions dan akhirnya dibuat kewalahan menghadapi permainan Athletic Bilbao di Liga Europa. Tujuan Fergie untuk menjungkalkan Barcelona tertunda--kalau bukan runtuh. Sial bagi mereka, Barca juga gagal total di Eropa musim ini. Guardiola pun keburu mundur, sebelum Fergie bisa membalas kekalahan di final musim lalu.

No comments:

Post a Comment